Kamis, 26 Maret 2015

Untukmu yang Dulu Memilih Pergi: Lihatlah, Aku Bahagia Walau Sendiri

Untukmu yang Dulu Memilih Pergi: Lihatlah, Aku Bahagia Walau Sendiri

 

Halo, kamu yang dulu memilih pergi. Bagaimana kabarmu hari ini?
Sudah cukup lama kita tak bersua. Sibuk apakah kau akhir-akhir ini? Masihkah bergelut dengan hobimu yang dulu, atau kau sudah punya kesukaan baru?
Bolehkah aku bertanya perihal orangtuamu juga? Sehat-sehat sajakah mereka, seiring dengan bertambahnya usia? Jujur, aku sangat rindu berbincang dengan keduanya. Kubayangkan mereka masih sama hangatnya seperti dulu, saat aku masih sering menyambangi rumahmu.
Dan masihkah orang bertanya mengapa kau dan aku tak pernah lagi terlihat bersama? Masihkah mereka membelalakkan mata, ketika kau menjelaskan perlahan alasannya? Karena terkadang, sampai sekarang, ada saja orang yang bertanya padaku apa kabarmu. Ah, andai kau bisa melihat reaksi mereka saat kukatakan kita sudah tak lagi ada apa-apa.

Sejak kita resmi tak bersama lagi, segala hal tentangmu sebisa mungkin kuhindari. Aku memutus silaturahmi demi cepat memulihkan hati. Namun kini, aku sudah siap menyapamu lagi. Aku ingin berkata bahwa aku baik-baik saja. Kuharap kabarmu pun sama baiknya.



Perpisahan kita adalah kejadian yang tak kusangka-sangka. Jujur, aku sempat tak mau percaya saat kau bilang tak lagi cinta.

 



Kau dan aku bertemu ketika kita masih sama-sama muda dan lugu. Awal kedekatanmu dan aku pun begitu sederhana: ada rasa nyaman saat kita berbicara dan begitu menyenangkan saat kita saling melempar canda. Jiwa kita tumbuh bersama, menyaksikan satu sama lain mendewasa.
Aku sempat begitu percaya pada “kita”. Bagiku, aku dan kamu adalah dua orang yang saling mengimbangi dan melengkapi. Karaktermu yang sedikit cuek kutimpali dengan sifatku yang lebih perhatian. Ketika kau malas pergi ke luar kamar untuk mencari makan, aku tak ragu datang dengan sebungkus nasi Padang di tangan. Ketika kau kehilangan semangat untuk belajar demi ujian, aku menawarkan diri menjadi partner diskusi. Senang rasanya melihatmu tersenyum dan berkata, “Hei, aku dapat A.”
Begitu juga sebaliknya. Sifatku yang mudah gelisah kau redam dengan pribadimu yang tenang. Kau bilang, jangan takut gagal, karena tugasku hanya berusaha sebaik-baiknya. Kau pun berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Dekapanmu yang hangat dan erat membuatku percaya.
Tentu ada saat di mana kita bersilang pendapat. Tapi pernahkah aku terpikir untuk meninggalkanmu karena opini kita tak bertitik temu? Tidak. Bukankah selama ini kita berusaha menyelesaikan segala masalah yang ada secara dewasa?
Lama sekali rasanya sejak pertemuan kita yang terakhir. Sejak pertemuan di mana kau berkata kau tak lagi cinta, bahwa sudah saatnya bagi kita untuk tak lagi bersama.
“Oh,” jawabku. Oh. Aku kehabisan kata-kata.
Sepanjang sisa pertemuan aku berusaha terlihat tenang, tak sudi memperlihatkan air mata. Baru saat kembali ke kamar sendirian aku menangis tanpa jeda. Esok paginya — dan pada beberapa pagi setelahnya — aku bangun dengan bengkak di kedua mata dan nyeri hebat di kepala.
 Jangan salahkan aku jika sempat percaya bahwa kau istimewa. Bagaimanapun, kita pernah bahagia.

Aku adalah pihak yang ditinggalkan. Bohong jika kubilang itu tak menyakitkan.

“Apakah yang selama ini kuberikan padamu tak mencukupi? Kekurangan apa yang kumiliki, sampai orang yang kusayangi memutuskan pergi?”

Pertanyaan itu yang berputar di kepalaku di hari-hari pertama setelah perpisahan kita. Memang akulah pihak yang ditinggalkan di sini. Bohong jika kubilang itu tak membuatku sakit hati.
Kau tak akan pernah tahu apa yang kurasakan; bagaimana aku berusaha bertahan. Mendengar namamu diucapkan saja membuatku harus mengingatkan diri untuk tenang dan mengambil napas dalam-dalam. Melintasi tempat-tempat yang dulu punya makna untuk kita, memegang barang-barang yang pernah menjadikan hidupku lebih berwarna — hubungan yang kita jalani terlalu panjang untuk tak menyisakan memori. Pernahkah kau mengira bahwa aku akan jatuh sedalam ini?


Aku selalu mengagumi karaktermu yang mudah legawa dan lupa. Ingin rasanya jadi dirimu, yang begitu mudah melepas masa lalu.

 

Jadi, kudengar kau baik-baik saja. Setidaknya tak ada sesal atau kesedihan yang kau ceritakan dengan terbuka pada teman-teman kita. Kudengar pula kau sudah mencoba mengencani satu-dua orang baru. Ah, kau memang orang yang mudah legawa sejak dulu. Mungkin sifat legawamu inilah yang membuatmu begitu mudah merelakan apa yang telah kita bangun bersama; mengabaikan apa yang masa depan punya untuk kita.
Tidak, aku tak ingin bersikap sinis di sini. Justru sifat legawa dan santaimu itu yang sejak dulu kukagumi. Bagimu, berhenti peduli pada orang-orang yang pernah kau sayangi adalah semudah menjentikkan jari. Ketika hubunganmu dengan mereka menemui kendala, kau tak akan tergerak untuk menyelesaikannya. Buat apa repot-repot? Pikirmu. Lebih baik kau tinggal saja.
Aku iri padamu, yang begitu mudah melepas masa lalu. Berbeda darimu, aku tak bisa begitu. Butuh waktu lama bagiku untuk menerima bahwa bagiku kau titik dan bagimu aku tanda tanya. Butuh waktu lama untuk menerima bahwa kau tak lagi cinta; bahwa bagimu, jauh lebih menarik untuk mencari orang lain yang baru ketimbang mempertahankanku.
Memang butuh waktu lama. Namun aku berhasil melakukannya.



Kini aku sudah jauh lebih bahagia. Pelan tapi pasti, aku memaafkan yang terjadi di antara kita.

 

“Proses penyembuhan”-ku berlangsung pelan-pelan. Tak seperti dirimu, aku memang tak bisa langsung memasang wajah tak peduli dan menjalani hari seolah tak ada apa-apa yang terjadi. Di hari-hari pertama setelah kita tak lagi bersama, aku kerap tenggelam dalam luapan emosi yang tiba-tiba datang.
Teman-teman dan keluargalah yang membantuku bertahan. Ketika aku mengikrarkan diri tak layak dicintai, mereka “menghajarku” dengan cinta yang tulus dan sebenarnya. Mereka meyakinkanku, hidup adalah lebih dari apa yang pernah kumiliki denganmu. Bahwa masa depan menjanjikan lebih banyak kebaikan dari masa lalu. Aku pun mendidik hati untuk menerima. Meyakini bahwa Tuhan sedang menyiapkan yang terbaik dari atas sana.
Aku berhenti mengasihani diri sendiri, berhenti menyalahkanmu, menyalahkan aku, menyalahkan keadaan. Pelan tapi pasti, aku memaafkan apa yang terjadi.
Kini aku sudah jauh lebih bahagia. Sudah kuterima bahwa kita memang harus diakhiri — bahwa perasaanku memang harus diaborsi.



Terima kasih telah menjadikanku lebih kuat dan dewasa. Hidupku yang sebenarnya baru dimulai setelah kau tak ada.


Setelah kau pergi, aku belajar menjadi lebih mandiri. Waktu yang dulu banyak kuhabiskan bersamamu kini kupakai untuk menambah ilmu dan menemukan hobi baru. Aku pun tak keberatan jika harus pergi ke luar sendirian, kalau hanya untuk makan atau membeli pakaian. Dan jika aku memang butuh ditemani, toh ada keluarga atau kawan dekat yang selalu bisa diandalkan.
Harus kuakui, aku sempat marah dan membenci keputusanmu untuk pergi. Namun sekarang aku paham: bukan tugas orang lain untuk mencintai diriku sendiri. Tugas itu hanya aku yang memiliki. Ya, jika mencintai orang lain adalah hak, mencintai diri sendiri adalah kewajiban.
Memahami itu semua membuatku lebih dewasa. Aku yang dulu pencemas dan takut gagal kini lebih mudah berserah dan bersabar. Aku yang dulu takut sendirian kini sadar tak ada yang sebenarnya perlu dikhawatirkan. Cukuplah aku bahagia dengan apa yang sekarang ini aku punya. Ketulusan orang yang ada di sekitar membuatku merasa tak pernah putus dicinta.

Hidupku tidaklah berhenti saat kau memutuskan pergi. Justru sebaliknya, hidupku yang sebenarnya baru dimulai. Kesempatan dan kebaikan yang akan datang padaku terlalu sayang jika terbuang gara-gara aku sibuk bermain jadi “korban” dan tenggelam dalam sakit hati.



 

Suatu hari nanti, aku akan bertemu seseorang yang baru. Aku akan mampu memberinya cinta yang lebih sempurna, karena kita pernah bersama dulu.

Kita memang sudah berpisah lama. Rasa yang dulu pernah aku punya kini tak lagi terlihat jejaknya. Jika dulu namamu masih membuat tekanan darahku meninggi, kini ia terdengar sama seperti jutaan nama manusia yang lainnya. Jika tempat-tempat yang dulu bermakna bagi kita sempat kuhindari, kini aku bisa mendatanginya lagi dengan berani.
Banyak orang berkata, buat apa repot-repot berpacaran jika akhirnya berpisah juga? Bukankah usaha yang sudah dikerahkan selama ini jadi terbuang sia-sia?
Tapi tidak ada cinta yang sia-sia dijalani. Meski akhirnya harus diamputasi, rasa yang pernah kumiliki telah membuatku paham makna memberi.

Perpisahan kita tak mengubahku jadi sinis soal cinta. Justru kau telah memberiku banyak pelajaran berharga.
Suatu hari di masa depan, Aku yakin akan bertemu dia yang memang tertakdirkan. Dan jika hari itu tiba, aku akan mampu menjadi pasangan yang lebih dewasa. Yang lebih mampu membuat diri sendiri, dan diri mereka yang kucintai, bahagia.
Kita memang tak pernah digariskan untuk selamanya. Namun, aku bisa jadi manusia yang lebih berdaya karena kita pernah bersama.
Dan seandainya kita bertemu kembali, suatu saat nanti, aku siap menyambutmu dengan senyum dan tangan terbuka.
Kepadamu yang dulu meninggalkanku: lihatlah, aku baik-baik saja. Jika kau kini sama baiknya, senang sekali aku mendengarnya.


Penulis : Aulia Kushardini

 

Rabu, 18 Maret 2015

KISAH SETITIK TERANG DIBALIK SETIAP KESULITAN




Suatu kala, ada seorang yang cukup terkenal akan kepintarannya dalam membantu orang mengatasi masalah. Meskipun usianya sudah cukup tua, namun kebijaksanaannya luar biasa luas. Karena itulah, orang berbondong-bondong ingin bertemu dengannya dengan harapan agar masalah mereka bisa diselesaikan.

Setiap hari, ada saja orang yang datang bertemu dengannya. Mereka sangat mengharapkan jawaban yang kiranya dapat menjadi solusi bagi permasalahan yang sedang mereka hadapi. Dan hebatnya, rata-rata dari mereka puas akan jawaban yang diberikan. Tidak heran, kepiawaiannya dalam mengatasi masalah membuat namanya begitu tersohor.

Suatu hari, seorang pemuda mendengar pembicaraan orang-orang di sekitar yang bercerita tentang orang tua tersebut. Ia pun menjadi penasaran dan berusaha mencari tahu keberadaannya. Ia juga ingin bertemu dengannya. Ada sesuatu yang sedang mengganjal di hatinya dan ia masih belum mendapatkan jawaban. Ia berharap mendapatkan jawaban dari orang tua tersebut.

Setelah berhasil mendapatkan lokasi tempat tinggal orang tua itu, ia bergegas menuju ke sana. Tempat tinggal orang tua tersebut dari luar terlihat sangat luas bagai istana.

Setelah masuk ke dalam rumah, ia akhirnya bertemu dengan orang tua bijaksana tersebut. Ia bertanya, "Apakah Anda orang yang terkenal yang sering dibicarakan orang-orang mampu mengatasi berbagai masalah?"

Orang tua itu menjawab dengan rendah hati, "Ah, orang-orang terlalu melebih-lebihkan. Saya hanya berusaha sebaik mungkin membantu mereka. Ada yang bisa saya bantu, anak muda? Kalau memang memungkinkan, saya akan membantu kamu dengan senang hati."

"Mudah saja. Saya hanya ingin tahu apa rahasia hidup bahagia? Sampai saat ini saya masih belum menemukan jawabannya. Jika Anda mampu memberi jawaban yang memuaskan, saya akan memberi hormat dan dua jempol kepada Anda serta menceritakan kehebatan Anda pada orang-orang," balas pemuda itu.

Orang tua itu berkata, "Saya tidak bisa menjawab sekarang."

Pemuda itu merengut, berkata, "Kenapa? Apakah Anda juga tidak tahu jawabannya?"

"Bukan tidak bisa. Saya ada sedikit urusan mendadak," balas orang tua itu. Setelah berpikir sebentar, ia melanjutkan, "Begini saja, kamu tunggu sebentar."

Orang tua itu pergi ke ruangan lain mengambil sesuatu. Sesaat kemudian, ia kembali dengan membawa sebuah sendok dan sebotol tinta. Sambil menuangkan tinta ke sendok, ia berkata, "Saya ada urusan yang harus diselesaikan. Tidak lama, hanya setengah jam. Selagi menunggu, saya ingin kamu berjalan dan melihat-lihat keindahan rumah dan halaman di luar sambil membawa sendok ini."

"Untuk apa?" tanya pemuda itu dengan penasaran.

"Sudah, jangan banyak tanya. Lakukan saja. Saya akan kembali setengah jam lagi," kata orang tua itu seraya menyodorkan sendok pada pemuda itu dan kemudian pergi.

Setengah jam berlalu, dan orang tua bijak itu pun kembali dan segera menemui pemuda itu.

Ia bertanya pada pemuda itu, "Kamu sudah mengelilingi seisi rumah dan halaman di luar?"

Pemuda itu menganggukkan kepala sambil berkata, "Sudah."

Orang tua itu lanjut bertanya, "Kalau begitu, apa yang sudah kamu lihat? Tolong beritahu saya."

Pemuda itu hanya diam tanpa menjawab.

Orang tua itu bertanya lagi, "Kenapa diam? Rumah dan halaman begitu luas, banyak sekali yang bisa dilihat. Apa saja yang telah kamu lihat?"

Pemuda itu mulai bicara, "Saya tidak melihat apa pun. Kalau pun melihat, itu hanya sekilas saja. Saya tidak bisa ingat sepenuhnya."

"Mengapa bisa begitu?" tanya orang tua itu.

Sang pemuda dengan malu menjawab, "Karena saat berjalan, saya terus memperhatikan sendok ini, takut tinta jatuh dan mengotori rumah Anda."

Dengan senyum, orang tua bijak itu berseru, "Nah, itulah jawaban yang kamu cari-cari selama ini. Kamu telah mengorbankan keindahan rumah yang seharusnya bisa kamu nikmati hanya untuk memerhatikan sendok berisi tinta ini. Karena terus mengkhawatirkan tinta ini, kamu tidak sempat melihat rumah dan halaman yang begitu indah. Rumah ini ada begitu banyak patung, ukiran, lukisan, hiasan dan ornamen yang cantik. Begitu juga dengan halaman rumah yang berhiaskan bunga-bunga warna-warni yang bermekaran. Kamu tidak bisa melihatnya karena kamu terus melihat sendok ini."

Ia melanjutkan, "Jika kamu selalu melihat kejelekan di balik tumpukan keindahan, hidup kamu akan dipenuhi penderitaan dan kesengsaraan. Sebaliknya, jika kamu selalu mampu melihat keindahan di balik tumpukan kejelekan, maka hidup kamu akan lebih indah. Itulah rahasia dari kebahagiaan. Apakah sekarang sudah mengerti, anak muda?"

Pemuda itu benar-benar salut atas kebijaksaan dari orang tua itu. Ia sungguh puas dengan jawabannya. Akhirnya ia menemukan jawaban yang selama ini ia cari. Sebelum pergi, ia menepati janjinya dengan memberi hormat dan dua jempol kepada orang tua tersebut.

RENUNGAN : Dalam hidup ini, alangkah baiknya kita tidak menjerumuskan diri kita ke dalam keterpurukan. Selalu ada hal positif yang bisa kita ambil. Jangan mengorbankan keindahan hidup hanya untuk melihat sisi jeleknya. Jadilah orang yang senantiasa melihat setitik terang di dalam gelap.

Mengapa Cincin Pernikahan harus di jari manis?

Mungkin ada yang bertanya kenapa ya cincin kawin umumnya di jari manis tangan kiri, kok ndak di jari tengah sebelah kanan gitu? Ternyata memang ada makna kenapa cincin kawin di tempatkan di sebelah sana.
Coba ikuti langkah berikut ini, Anda akan percaya bahwa Tuhan benar-benar membuat keajaiban.
 
  1. Pertama, pertemukan kedua telapak tangan anda, jari tengah saling silang ditekuk ke dalam.
  2. Kemudian, 4 jari yang lain pertemukan ujungnya.
  3. Permainan dimulai, 5 pasang jari tetapi hanya 1 pasang yang tidak terpisahkan…
  4.  Cobalah membuka ibu jari anda, ibu jari mewakili orang tua, ibu jari bisa dibuka karena semua manusia mengalami sakit dan mati.
  5. Dengan demikian orang tua kita akan meninggalkan kita suatu hari nanti
  6. Tutup kembali ibu jari anda, kemudian buka jari telunjuk anda, jari telunjuk mewakili kakak dan adik anda, mereka memiliki keluarga sendiri, sehingga mereka juga akan meninggalkan kita.
  7. Sekarang tutup kembali jari telunjuk anda, buka jari kelingking, yang mewakili anak2. cepat atau lambat anak2 juga akan meninggalkan kita.
  8. Selanjutnya, tutup jari kelingking anda, bukalah jari manis anda tempat dimana kita menaruh cincin pernikahan anda, kamu akan heran karena jari tersebut tidak akan bisa dibuka. Karena jari manis mewakili suami dan istri, selama hidup anda dan pasangan kamu akan terus melekat satu sama lain.
 
Ketika otak menerima pesan untuk menggerakan jari telunjuk kita, dapat digerakan. Begitu juga dengan jempol, tengah, dan kelingking kita.
Mengapa jari manis tetap diam tak dapat digerakan meskipun otak ini bersikeras mengoyahkan? Itulah kenapa dari dulu cinta didasarkan pada dorongan kuat dari perasaan, bukan dari otak atau otot.
Terasa kan sekeras apapun otak dan otot kita bersikeras menggerakan jari manis kita, tetap tak bisa digoyahkan. simbol dari cinta sejati ♥
 

Selasa, 17 Maret 2015

PEMAIN JODHA AKBAR ANTV

Hello My Beloved Readers ^^
Post kali ini akan saya perkenalkan pemeran serial
TV India yang memiliki rating tertinggi di India dan Indonesia.
Saya pun salah satu penggemar serial ini :) 
Walaupun tidak pernah mengikuti alur ceritanya dari awal *krn emang dasarnya malas banget nonton kisah2 drama kayak gini,apalagi bersambung terus.. hadehhh males banget*
Jadi ceritanya gini, orang2 dirumah lagi pada nonton serial ini, kebetulan TV ada juga didapur. Nah saat itu saya sedang melakukan aktifitas didapur, kemudian ikut nimbrung (niat nya sih cuma liat sebentaran doank) eeh gak tau nya jadi tertarik & sampe sekarang ngikutin terus episode nya.
Pasti tau kan serial apa yang saya maksud? :) :)
Penasaran dengan pemainnya?
Bagaimana wujud asli mereka tanpa dandanan khas kerajaan??

Check this out Gals!


PARIDHI SHARMA a.k.a RATU JODHA


Tanggal Lahir : 15 Mei 1987
Tempat Lahir : Bagh,Madhya Pradesh India
Status : Menikah (Tanmay Saxena)



RAJAT TOKAS a.k.a RAJA JALALUDIN MUHAMMAD




Tanggal Lahir : 19 Juli 1991
Tempat Lahir : Munirka New Delhi
Agama : Hindu
Status : Sudah bertunangan dengan Shristi Nayyar



LAVINA TANDON a.k.a RATU RUQAIYA





Tanggal Lahir :   14 Mei 1991
Tempat Lahir : Ludhiana India
Status : Single




 MANISHA YADAV a.k.a RATU SALIMA BEGUM




Tempat Tanggal Lahir : Belum diketahui
Umur : 25 tahun
Asal : Mumbai , India


CHYYA ALI KHAN a.k.a RATU HAMIDA BANU BEGUM
 







CHETAN HANSRAJ a.k.a ADAM KHAN
 
 
 

 
 
 
 
 ASHWINI KALSEKAR a.k.a MAHAM ANGA



 
 
 
 
 
SEKIAN DULU YAHHHHHHH ^_^