Apa kabarmu hari ini? Masih seringkah kau ditelan rasa marah yang tiba-tiba kemudian menghardik siapa saja? Hati-hati, arteri jantungmu tak akan selamanya kuat menahan tekanan darahmu yang sering melonjak tanpa angin atau hujan.
Sudah lama aku tak melihatmu. Kau juga memang mungkin tak ingat padaku, karena aku hanyalah satu dari sekian banyak karyawan yang dulu pernah bekerja di tempatmu. Aku tahu suratku ini tidak begitu penting untuk kau baca. Harimu toh akan baik-baik saja tanpa pernah mengetahui surat ini ada. Namun, aku akan tetap menuliskankannya agar hatiku lega. Agar rasa kecewa yang masih aku punya bisa sirna, setelah akhirnya mendapat ‘penutup’ yang seharusnya.
Aku pernah begitu berhasrat menimba ilmu di tempat yang kau dirikan. Tapi, aku bersyukur sudah tak ada di sana lagi sekarang.
Selamat pagi, mantan bosku.
Apa kabarmu hari ini? Masih seringkah kau ditelan rasa marah yang
tiba-tiba kemudian menghardik siapa saja? Hati-hati, arteri jantungmu
tak akan selamanya kuat menahan tekanan darahmu yang sering
melonjak tanpa angin atau hujan.
Sudah lama aku tak melihatmu. Kau juga memang mungkin tak ingat
padaku, karena aku hanyalah satu dari sekian banyak karyawan yang dulu
pernah bekerja di tempatmu. Aku tahu suratku ini tidak begitu penting
untuk kau baca. Harimu toh akan baik-baik saja tanpa pernah mengetahui
surat ini ada. Namun, aku akan tetap menuliskankannya agar hatiku lega.
Agar rasa kecewa yang masih aku punya bisa sirna, setelah akhirnya
mendapat ‘penutup’ yang seharusnya.
Aku pernah begitu berhasrat menimba ilmu di tempat yang kau dirikan. Tapi, aku bersyukur sudah tak ada di sana lagi sekarang.
Aku sempat gembira luar biasa saat diterima bekerja di tempatmu. Segala daya dan usaha kuperas habis agar bisa jadi sebaik yang kau minta.
Mencari pekerjaan adalah menu yang kusantap saban harinya. Bangun tidur, menyesap kopi, kemudian sibuk mengecek email serta membolak-balik kolom lowongan di koran pagi. Entah mimpi apa aku malam sebelumnya, yang jelas pengumuman penerimaanku melalui surat elektronik darimu benar-benar membuatku gembira luar biasa. Akhirnya gelar sarjanaku tak sia-sia, akhirnya ilmu yang kutimba akan terpakai juga.
Menginjakkan kaki di tempat yang ku harap akan membawa perubahan bagi
masa depan tentu adalah pengalaman yang tak terlupakan. Sungguh, hari
pertama aku bekerja merupakan hari istimewa. Aku menyiapkan segalanya
sehari sebelumnya, supaya semuanya sempurna. Mulai dari pakaian yang
akan kukenakan, riasan yang akan kupoleskan, hingga gaya rambut supaya
aku tampil percaya diri. Bahkan, seperti anak kecil yang akan piknik
keesokan harinya, aku sulit memejamkan mata malam hari sebelumnya.
Hari pertama bergulir cepat berganti dengan minggu hingga bulan. Aku
kemudian menyadari bahwa yang kujalani cukup di luar dugaan. Kau
menuntut banyak hal, mulai dari yang wajar sampai yang tak masuk akal.
Namun semua keluhan kutelan bulat-bulat karena aku tak ingin jadi anak
baru yang “kurang ajar”.
Sungguh, aku mengeluarkan segala tenaga yang aku punya agar bisa
memuaskanmu. Aku juga bekerja lebih dari waktu yang seharusnya supaya
mampu menggenapi target, demi menghindari kata pedas dari mulutmu.
Walaupun toh saat aku sukses, tak ada bonus apapun yang datang darimu.
Kau memang orang yang susah dipuaskan. Entah karena aku memang tak cukup pintar, atau keinginanmu yang terlalu macam-macam.
Jatuh-bangunku memenuhi target tak selalu berakhir manis. Kadang kala
aku harus mengulang lagi laporan yang sudah kuselesaikan, karena kau
menganggapnya salah besar. Walaupun aku menghabiskan banyak waktu supaya
hasil yang akan kuperoleh sempurna, tetap saja kau melihat kekurangan
besar di dalamnya.
Bentakan hingga kata-kata sindiran adalah ‘hadiah’ yang biasa aku
terima. Bahkan pernah suatu hari, kau mempertanyakan kapasitasku sebagai
sarjana. Sungguh, rasa-rasanya aku makin tak berharga sebagai manusia.
Rasanya aku ini lebih bengal dari keledai, lebih tak berguna dari kecoa.
Terima kasih telah membuatku merasa bakatku sia-sia.
Asal kau tahu, ilmu yang bermanfaat juga tak pernah kudapatkan dari bekerja di tempatmu selama itu
Saat kau sudah mulai marah-marah dan mem-bully hasil pekerjaanku, aku sering bertanya dalam hati:
Benarkah aku yang kelewat bodohnya hingga tak bisa mengerjakan, atau memang kau saja yang menyebalkan?
Mungkin aku memang tak bisa memuaskan semua orang, namun bukan
berarti aku pantas dihadiahi kata-kata yang menjatuhkan. Aku sempat
terpuruk secara mental sampai malas-malasan datang ke kantor. Tapi
akhirnya, aku belajar untuk tak menelan perkataanmu bulat-bulat, walau
posisimu ada di atasku.
Asal tahu saja, sedari aku menginjakkan kaki di kantormu, hampir tak
ada ilmu baru yang kuserap di kepalaku. Karakterku memang
terbentuk menjadi seseorang yang lebih kuat secara mental, tapi toh itu
terjadi karena “tidak sengaja”. Aku harus jumpalitan agar bisa
memelihara perasaan, karena kau terus mem-bully diriku dari segala sisi — seolah aku karyawan merepotkan yang tak tahu diri.
(Kalau begitu, kenapa dulu kau menerimaku?)
Padahal sebelum aku bekerja di sana, aku membayangkan bahwa aku akan
bisa mendapatkan banyak kemampuan baru. Aku berandai-andai bahwa akan
banyak informasi yang datang menunggu untuk dicerna. Namun, kenyataannya
hampir tak ada yang bisa kupelajari. Saat hasil kerjaku kau anggap
salah, pun kau tak pernah memberi tahu apa yang benar sebagai
pedomanku belajar. Kau hanya menuntut pekerjaanku selalu benar tanpa
pernah menunjukkan hasil koreksinya. Bagaimana bisa aku membenarkan
sesuatu yang aku sendiri tak tahu di mana letak kesalahannya?
Ternyata tak hanya aku yang mengalami hal serupa, rekan-rekanku juga
mengalami hal yang sama. Kalau sudah begini, bijakkah sikap
semena-menamu terhadap para pekerja? Tak maukah kau melihat pekerjamu
ini berkembang sehingga kantormu menjadi makin maju ke depan? Takutkah
kau bahwa kami akan mencuri ilmu yang kau miliki?
Satu hal yang kemudian kusadari dan terus menerus mengusik nuraniku, adalah mungkin ini bukanlah tempat tepat untukku belajar dan berkembang sebagai manusia.
Memang kau berani memberi gaji tinggi. Tapi mengundurkan diri adalah pilihan yang tak pernah kusesali. Toh hidup bukan soal uang semata; banyak kebahagiaan lain yang juga ditawarkan oleh dunia.
Berhenti mencari rupiah dari tempatmu merupakan pilihan paling
tepat yang waktu itu bisa kuambil. Aku masih masuk dalam golongan usia
muda, jadi untuk apa lama-lama menghamba pada perusahaan yang tak
melihatku sebagai manusia? Bagaimana aku bisa merasa gembira jika tiap
hari mendengar makian dan cerca yang tak ada habisnya? Lebih baik aku
keluar duluan daripada jadi gila.
Kau memang berani menggaji kami tinggi-tinggi. Tapi, aku tahu bahwa
bahagia tidak hanya datang dalam nominal rupiah yang masuk ke rekening
setiap tanggal 25. Ada banyak kebahagiaan dengan beragam kemasan yang
ditawarkan oleh dunia. Mungkin aku bisa bekerja di tempat yang lebih
sesuai dengan renjana. Atau berpindah di tempat yang mengijinkan
kreativitasku berkembang tanpa berniat memangkasnya. Atau apapun, yang
atasannya waras dan tak akan marah-marah karena alasan yang tak jelas.
Sekarang aku sudah punya tempat baru untuk berkarya. Dan setidaknya, tempat ini lebih menghargai keberadaanku sebagai manusia.
Terima kasih sudah menyadarkan bahwa tiap orang butuh dihargai sebagai manusia. Aku akan selalu mengingatmu, sebagai sosok yang tak pernah mau aku tiru.
Terima kasih telah memaksaku menjadi sosok yang lebih berhati lapang. Sekarang aku jadi tak mudah naik pitam dan mampu mengolah emosi dengan lebih matang. Lewat bekerja di tempatmu aku juga belajar bahwa aku bisa menghargai diriku sendiri sebagai manusia. Aku mampu melihat bahwa seharusnya aku tak diperlakukan dengan begitu rupa walaupun aku hanya seorang karyawan biasa.
Tak hanya itu, aku juga memetik satu ilmu yang pasti. Saat aku sudah lebih tua nanti dan diamanahi pangkat yang lebih tinggi, aku akan memperlakukan orang sebaik-baiknya.
Di kepalaku, akan selalu ada sosokmu sebagai orang yang tak layak ditiru.
Dan engkau cukup tahu.
Dariku,
Seseorang yang pernah begitu bersemangat bekerja untukmu
Penulis : Pinka Wima