Jumat, 10 April 2015

Surat Terbuka Untuk Orang Yang Dulu Pernah Menggajiku


Apa kabarmu hari ini? Masih seringkah kau ditelan rasa marah yang tiba-tiba kemudian menghardik siapa saja? Hati-hati, arteri jantungmu tak akan selamanya kuat menahan tekanan darahmu yang sering melonjak tanpa angin atau hujan.
Sudah lama aku tak melihatmu. Kau juga memang mungkin tak ingat padaku, karena aku hanyalah satu dari sekian banyak karyawan yang dulu pernah bekerja di tempatmu. Aku tahu suratku ini tidak begitu penting untuk kau baca. Harimu toh akan baik-baik saja tanpa pernah mengetahui surat ini ada. Namun, aku akan tetap menuliskankannya agar hatiku lega. Agar rasa kecewa yang masih aku punya bisa sirna, setelah akhirnya mendapat ‘penutup’ yang seharusnya.
Aku pernah begitu berhasrat menimba ilmu di tempat yang kau dirikan. Tapi, aku bersyukur sudah tak ada di sana lagi sekarang.



Selamat pagi, mantan bosku.
Apa kabarmu hari ini? Masih seringkah kau ditelan rasa marah yang tiba-tiba kemudian menghardik siapa saja? Hati-hati, arteri jantungmu tak akan selamanya kuat menahan tekanan darahmu yang sering melonjak tanpa angin atau hujan.
Sudah lama aku tak melihatmu. Kau juga memang mungkin tak ingat padaku, karena aku hanyalah satu dari sekian banyak karyawan yang dulu pernah bekerja di tempatmu. Aku tahu suratku ini tidak begitu penting untuk kau baca. Harimu toh akan baik-baik saja tanpa pernah mengetahui surat ini ada. Namun, aku akan tetap menuliskankannya agar hatiku lega. Agar rasa kecewa yang masih aku punya bisa sirna, setelah akhirnya mendapat ‘penutup’ yang seharusnya.
Aku pernah begitu berhasrat menimba ilmu di tempat yang kau dirikan. Tapi, aku bersyukur sudah tak ada di sana lagi sekarang.


Aku sempat gembira luar biasa saat diterima bekerja di tempatmu. Segala daya dan usaha kuperas habis agar bisa jadi sebaik yang kau minta.

Mencari pekerjaan adalah menu yang kusantap saban harinya. Bangun tidur, menyesap kopi, kemudian sibuk mengecek email serta membolak-balik kolom lowongan di koran pagi. Entah mimpi apa aku malam sebelumnya, yang jelas pengumuman penerimaanku melalui surat elektronik darimu benar-benar membuatku gembira luar biasa. Akhirnya gelar sarjanaku tak sia-sia, akhirnya ilmu yang kutimba akan terpakai juga.

Menginjakkan kaki di tempat yang ku harap akan membawa perubahan bagi masa depan tentu adalah pengalaman yang tak terlupakan. Sungguh, hari pertama aku bekerja merupakan hari istimewa. Aku menyiapkan segalanya sehari sebelumnya, supaya semuanya sempurna. Mulai dari pakaian yang akan kukenakan, riasan yang akan kupoleskan, hingga gaya rambut supaya aku tampil percaya diri. Bahkan, seperti anak kecil yang akan piknik keesokan harinya, aku sulit memejamkan mata malam hari sebelumnya.
Hari pertama bergulir cepat berganti dengan minggu hingga bulan. Aku kemudian menyadari bahwa yang kujalani cukup di luar dugaan. Kau menuntut banyak hal, mulai dari yang wajar sampai yang tak masuk akal. Namun semua keluhan kutelan bulat-bulat karena aku tak ingin jadi anak baru yang “kurang ajar”.
Sungguh, aku mengeluarkan segala tenaga yang aku punya agar bisa memuaskanmu. Aku juga bekerja lebih dari waktu yang seharusnya supaya mampu menggenapi target, demi menghindari kata pedas dari mulutmu. Walaupun toh saat aku sukses, tak ada bonus apapun yang datang darimu.


 

Kau memang orang yang susah dipuaskan. Entah karena aku memang tak cukup pintar, atau keinginanmu yang terlalu macam-macam.

 


 



 


Jatuh-bangunku memenuhi target tak selalu berakhir manis. Kadang kala aku harus mengulang lagi laporan yang sudah kuselesaikan, karena kau menganggapnya salah besar. Walaupun aku menghabiskan banyak waktu supaya hasil yang akan kuperoleh sempurna, tetap saja kau melihat kekurangan besar di dalamnya.
Bentakan hingga kata-kata sindiran adalah ‘hadiah’ yang biasa aku terima. Bahkan pernah suatu hari, kau mempertanyakan kapasitasku sebagai sarjana. Sungguh, rasa-rasanya aku makin tak berharga sebagai manusia. Rasanya aku ini lebih bengal dari keledai, lebih tak berguna dari kecoa.
Terima kasih telah membuatku merasa bakatku sia-sia.

Asal kau tahu, ilmu yang bermanfaat juga tak pernah kudapatkan dari bekerja di tempatmu selama itu

Saat kau sudah mulai marah-marah dan mem-bully hasil pekerjaanku, aku sering bertanya dalam hati:
Benarkah aku yang kelewat bodohnya hingga tak bisa mengerjakan, atau memang kau saja yang menyebalkan?
Mungkin aku memang tak bisa memuaskan semua orang, namun bukan berarti aku pantas dihadiahi kata-kata yang menjatuhkan. Aku sempat terpuruk secara mental sampai malas-malasan datang ke kantor. Tapi akhirnya, aku belajar untuk tak menelan perkataanmu bulat-bulat, walau posisimu ada di atasku.
Asal tahu saja, sedari aku menginjakkan kaki di kantormu, hampir tak ada ilmu baru yang kuserap di kepalaku. Karakterku memang terbentuk menjadi seseorang yang lebih kuat secara mental, tapi toh itu terjadi karena “tidak sengaja”. Aku harus jumpalitan agar bisa memelihara perasaan, karena kau terus mem-bully diriku dari segala sisi — seolah aku karyawan merepotkan yang tak tahu diri.
(Kalau begitu, kenapa dulu kau menerimaku?)
Padahal sebelum aku bekerja di sana, aku membayangkan bahwa aku akan bisa mendapatkan banyak kemampuan baru. Aku berandai-andai bahwa akan banyak informasi yang datang menunggu untuk dicerna. Namun, kenyataannya hampir tak ada yang bisa kupelajari. Saat hasil kerjaku kau anggap salah, pun kau tak pernah memberi tahu apa yang benar sebagai pedomanku belajar. Kau hanya menuntut pekerjaanku selalu benar tanpa pernah menunjukkan hasil koreksinya. Bagaimana bisa aku membenarkan sesuatu yang aku sendiri tak tahu di mana letak kesalahannya?
Ternyata tak hanya aku yang mengalami hal serupa, rekan-rekanku juga mengalami hal yang sama. Kalau sudah begini, bijakkah sikap semena-menamu terhadap para pekerja? Tak maukah kau melihat pekerjamu ini berkembang sehingga kantormu menjadi makin maju ke depan? Takutkah kau bahwa kami akan mencuri ilmu yang kau miliki?
Satu hal yang kemudian kusadari dan terus menerus mengusik nuraniku, adalah mungkin ini bukanlah tempat tepat untukku belajar dan berkembang sebagai manusia.

 

 

Memang kau berani memberi gaji tinggi. Tapi mengundurkan diri adalah pilihan yang tak pernah kusesali. Toh hidup bukan soal uang semata; banyak kebahagiaan lain yang juga ditawarkan oleh dunia.

Berhenti mencari rupiah dari tempatmu merupakan pilihan paling tepat yang waktu itu bisa kuambil. Aku masih masuk dalam golongan usia muda, jadi untuk apa lama-lama menghamba pada perusahaan yang tak melihatku sebagai manusia? Bagaimana aku bisa merasa gembira jika tiap hari mendengar makian dan cerca yang tak ada habisnya? Lebih baik aku keluar duluan daripada jadi gila.
Kau memang berani menggaji kami tinggi-tinggi. Tapi, aku tahu bahwa bahagia tidak hanya datang dalam nominal rupiah yang masuk ke rekening setiap tanggal 25. Ada banyak kebahagiaan dengan beragam kemasan yang ditawarkan oleh dunia. Mungkin aku bisa bekerja di tempat yang lebih sesuai dengan renjana. Atau berpindah di tempat yang mengijinkan kreativitasku berkembang tanpa berniat memangkasnya. Atau apapun, yang atasannya waras dan tak akan marah-marah karena alasan yang tak jelas.
Sekarang aku sudah punya tempat baru untuk berkarya. Dan setidaknya, tempat ini lebih menghargai keberadaanku sebagai manusia.

 

Terima kasih sudah menyadarkan bahwa tiap orang butuh dihargai sebagai manusia. Aku akan selalu mengingatmu, sebagai sosok yang tak pernah mau aku tiru.

 




Tentu surat ini tak hanya berisi rangkaian keluhan yang dialamatkan untukmu. Sebagai manusia, aku masih mengerti budi pekerti. Oleh karena itu, aku juga akan menghaturkan terima kasih. Bagaimanapun juga kau pernah memberiku uang hidup beberapa bulan lamanya. Kau juga merupakan orang pertama yang memberikanku kesempatan bekerja setelah resmi jadi sarjana.
Terima kasih telah memaksaku menjadi sosok yang lebih berhati lapang. Sekarang aku jadi tak mudah naik pitam dan mampu mengolah emosi dengan lebih matang. Lewat bekerja di tempatmu aku juga belajar bahwa aku bisa menghargai diriku sendiri sebagai manusia. Aku mampu melihat bahwa seharusnya aku tak diperlakukan dengan begitu rupa walaupun aku hanya seorang karyawan biasa.
Tak hanya itu, aku juga memetik satu ilmu yang pasti. Saat aku sudah lebih tua nanti dan diamanahi pangkat yang lebih tinggi, aku akan memperlakukan orang sebaik-baiknya. 
Di kepalaku, akan selalu ada sosokmu sebagai orang yang tak layak ditiru.
Dan engkau cukup tahu.

Dariku,
Seseorang yang pernah begitu bersemangat bekerja untukmu



Penulis :   Pinka Wima

Rabu, 01 April 2015

Walau Jadi yang Kesekian, Semoga Akulah yang Mendampingimu di Masa Depan

Hai, pria yang sudah mengisi hari-hariku. Mohon jangan tertawa ketika kamu membaca suratku ini.
Aku menuliskan ini sebagai bukti — tak apa ‘kan, sekali-sekali? — bahwa aku memiliki cinta yang dalam. Perasaan yang kupunya memang tak pernah padam, dari hari pertama kita menjalin kedekatan hingga sekarang.
Hari-hari yang kita lalui selalu diisi tawa yang selalu bisa membuatku berbunga. Kamu pun selalu ada dan siap menjadikan lontaranku kian sempurna. Berdua denganmu membuatku mampu menikmati apapun yang ditawarkan oleh dunia. Kata cinta juga tak lagi cukup untuk menggambarkan rasa menggebu serta kebun bunga yang tersemai rapi di hatiku.
Berlebihankah jika aku ingin menjadi pendampingmu di masa depan?

Aku memang bukan yang pertama kali menapaki ruang hatimu. Sebelumnya, ada yang lain yang pernah di sana lebih dulu.

Aku tahu, aku bukanlah manusia pertama yang mengetuk dan masuk untuk kemudian menjelajah semua ruangan yang ada di hatimu. Dulu, aku sempat kebingungan karena tak menemukan kunci untuk membuka gerbangnya. Aku paham, kamu sudah terlalu lama menutupnya hingga lupa menyimpan kuncinya yang entah berada dimana. Usahaku untuk sabar menanti pun ternyata tak sia-sia. Lama kelamaan pintumu terbuka sempurna dan aku bisa masuk ke dalamnya.
Saat aku masuk, tahukah kamu bahwa ruangannya terlihat amat kosong, usang, dan berdebu? Ah, pasti pemilik sebelumnya telah lama meninggalkannya. Aku pun memutuskan untuk menjelajah setiap jengkal ruangannya, setiap koridor, hingga sudut tersempitnya. Aku sempat menemukan beberapa goresan luka dalam yang telah mengering sempurna. Ah, sesakit itukah luka yang pernah kamu rasakan dulu?
Aku tahu, ada banyak manusia berjenis kelamin wanita yang pernah masuk ke dalam hatimu. Entah itu mereka yang hanya melihat-lihat, menumpang berteduh, berlalu lalang, hingga memutuskan untuk bersemayam sejenak di sana. Tak apa, itu semua memang bagian dari perjalanan serta proses pendewasaan. Aku tidak menabung cemburu, mungkin justru tanpa kehadiran mereka dulu, tak akan kutemui sosokmu yang sekarang. Dirimu yang paham membaca isi lingkar kepala wanita pun pandai menjaga hati kaum hawa.
Pantaslah jika aku menghaturkan terima kasih kepada para wanita yang pernah ada di hidupmu. Mereka telah berjasa, menjalankan peran mereka secara sempurna. Menjadikanmu sosok baru yang dewasa karena banyak makan asam garamnya dunia asmara.








Aku bukan wanita yang bisa selalu membuatmu tertawa. Kadang, aku juga dilibat emosi dan sering ingin menang sendiri




Aku memang hanya membawa setoples kesederhanaan saat mendatangi ruang hatimu. Tidak ada kesempurnaan yang turut kubawa serta. Aku memang hanyalah gadis paling biasa yang kau temui dan memutuskan untuk bersemayam di sana. Aku merasa nyaman tinggal di dalam lipatannya. Hatimu hangat, pun memiliki permukaan selembut beledu, bagaimana bisa aku hanya lewat seperti angin lalu?
Sayang, tanpa kesempurnaan, aku pun seperti gadis pada umumnya. Aku sering ditenggelamkan emosi yang membuatku sering ingin menang sendiri. Membuat jalinan kita yang tadinya rapat menjadi berjeda. Kita menyimpan marah, melontarkan serapah, hingga saling resah. Tanpa kusadari aku telah mengguratkan luka baru menganga di permukaan hatimu.
Ah, maafkan aku sayang, aku tak tahu jika ternyata aku bisa menjadi setolol dan sekejam ini. Membabi buta merusak rumah yang sekarang menjadi tempatku bernaung dan sedia memberikan kehangatan. Membuatku melumat habis tiap jengkal lipatannya. Seharusnya aku bisa lebih sabar dalam bersikap, tidak mudah menyerah kalah pada gengsi dan rasa marah. Seharusnya aku menjaganya dan bukan malah ripuh menabur luka.


Namun, kamu harus tahu bahwa aku akan berusaha sekuat daya untuk membuatmu bahagia

 
aku selalu ingin buatmu bahagia
 

Sayang, kamu juga perlu tahu bahwa di tiap nafas yang kuhela, aku berusaha. Aku berjuang sekuat daya untuk membuatmu bahagia. Memantaskan diriku sendiri untuk layak bersanding di sisimu. Mengurangi segala tabiat buruk yang mampu menyakitimu. Aku berjerih payah untuk mengulas senyum bangga di parasmu.
Di balik ketidaksempurnaanku, aku juga memiliki keyakinan yang dalam untukmu. Aku yakin bahwa hatimu merupakan rumah yang paling pas dan nyaman untukku. Ruangannya lapang, membuatku bebas melakukan segala kegiatan. Banyak jendela yang membuatku mampu menghirup udara sebanyak-banyaknya. Bahkan tak kutemui rantai cemburu yang siap membelit kakiku. Ya, kau memang menghargaiku seperti kau menghargai dirimu sendiri.
Kau memberikan kebebasan penuh padaku, supaya aku bisa sebebas-bebasnya mengejar mimpi, bahkan kaulah alasanku untuk bisa terlontar ke angkasa. Aku memang milikmu, namun kemudian tidak lantas membuatmu membatasi kebebasanku dan mengatasnamakan cinta. Karena itulah, tekadku sudah bulat, aku ingin menjadi penghuni terakhir di ruang hatimu dan aku sedang mengusahakan untuk itu.


Aku berdoa, semoga nantinya akulah wanita terakhirmu — yang akan menyandang nama belakangmu dan menjadi ibu dari anak-anakmu.

 

Doa yang kulantunkan tiap petang juga jauh dari keistimewaan. Hanya keinginan sederhana yang tertimbun di sana. Aku tidak ingin menjadi wanita yang serba bisa dan sukses dalam segala hal. Aku tak pula meminta harta berlimpah sehingga bisa membeli barang-barang mewah.
Ya, doa yang kupanjatkan tiap malam hanyalah supaya aku bisa mengiringi langkahmu di masa depan. Semoga akulah yang mengamit lenganmu dan menautkan jemari kecilku di rengkuhan hangatmu sebelum akhirnya kita mengucap janji sehidup semati. Semoga aku lah yang menjadi penghuni terakhir dari hatimu. Semoga selamanya aku akan tinggal di dalamnya dililit dengan kehangatan dan diselimuti dengan dindingnya yang selembut beledu.





Penulis : Pinka Wima