Aku menuliskan ini sebagai bukti — tak apa ‘kan, sekali-sekali? — bahwa aku memiliki cinta yang dalam. Perasaan yang kupunya memang tak pernah padam, dari hari pertama kita menjalin kedekatan hingga sekarang.
Hari-hari yang kita lalui selalu diisi tawa yang selalu bisa membuatku berbunga. Kamu pun selalu ada dan siap menjadikan lontaranku kian sempurna. Berdua denganmu membuatku mampu menikmati apapun yang ditawarkan oleh dunia. Kata cinta juga tak lagi cukup untuk menggambarkan rasa menggebu serta kebun bunga yang tersemai rapi di hatiku.
Berlebihankah jika aku ingin menjadi pendampingmu di masa depan?
Aku memang bukan yang pertama kali menapaki ruang hatimu. Sebelumnya, ada yang lain yang pernah di sana lebih dulu.
Aku tahu, aku bukanlah manusia pertama yang mengetuk dan masuk untuk
kemudian menjelajah semua ruangan yang ada di hatimu. Dulu, aku sempat
kebingungan karena tak menemukan kunci untuk membuka gerbangnya. Aku
paham, kamu sudah terlalu lama menutupnya hingga lupa menyimpan kuncinya
yang entah berada dimana. Usahaku untuk sabar menanti pun ternyata tak
sia-sia. Lama kelamaan pintumu terbuka sempurna dan aku bisa masuk ke
dalamnya.
Saat aku masuk, tahukah kamu bahwa ruangannya terlihat amat kosong,
usang, dan berdebu? Ah, pasti pemilik sebelumnya telah lama
meninggalkannya. Aku pun memutuskan untuk menjelajah setiap jengkal
ruangannya, setiap koridor, hingga sudut tersempitnya. Aku sempat
menemukan beberapa goresan luka dalam yang telah mengering sempurna. Ah,
sesakit itukah luka yang pernah kamu rasakan dulu?
Aku tahu, ada banyak manusia berjenis kelamin wanita yang pernah
masuk ke dalam hatimu. Entah itu mereka yang hanya melihat-lihat,
menumpang berteduh, berlalu lalang, hingga memutuskan untuk bersemayam
sejenak di sana. Tak apa, itu semua memang bagian dari perjalanan serta
proses pendewasaan. Aku tidak menabung cemburu, mungkin justru tanpa
kehadiran mereka dulu, tak akan kutemui sosokmu yang sekarang. Dirimu
yang paham membaca isi lingkar kepala wanita pun pandai menjaga hati
kaum hawa.
Pantaslah jika aku menghaturkan terima kasih kepada para wanita yang
pernah ada di hidupmu. Mereka telah berjasa, menjalankan peran mereka
secara sempurna. Menjadikanmu sosok baru yang dewasa karena banyak makan
asam garamnya dunia asmara.
Aku bukan wanita yang bisa selalu membuatmu tertawa. Kadang, aku juga dilibat emosi dan sering ingin menang sendiri
Aku memang hanya membawa setoples kesederhanaan saat mendatangi ruang
hatimu. Tidak ada kesempurnaan yang turut kubawa serta. Aku memang
hanyalah gadis paling biasa yang kau temui dan memutuskan untuk
bersemayam di sana. Aku merasa nyaman tinggal di dalam lipatannya.
Hatimu hangat, pun memiliki permukaan selembut beledu, bagaimana bisa
aku hanya lewat seperti angin lalu?
Sayang, tanpa kesempurnaan, aku pun seperti gadis pada umumnya. Aku
sering ditenggelamkan emosi yang membuatku sering ingin menang sendiri.
Membuat jalinan kita yang tadinya rapat menjadi berjeda. Kita menyimpan
marah, melontarkan serapah, hingga saling resah. Tanpa kusadari aku
telah mengguratkan luka baru menganga di permukaan hatimu.
Ah, maafkan aku sayang, aku tak tahu jika ternyata aku bisa menjadi
setolol dan sekejam ini. Membabi buta merusak rumah yang sekarang
menjadi tempatku bernaung dan sedia memberikan kehangatan. Membuatku
melumat habis tiap jengkal lipatannya. Seharusnya aku bisa lebih sabar
dalam bersikap, tidak mudah menyerah kalah pada gengsi dan rasa marah.
Seharusnya aku menjaganya dan bukan malah ripuh menabur luka.
Namun, kamu harus tahu bahwa aku akan berusaha sekuat daya untuk membuatmu bahagia
aku selalu ingin buatmu bahagia
Sayang, kamu juga perlu tahu bahwa di tiap nafas yang kuhela, aku
berusaha. Aku berjuang sekuat daya untuk membuatmu bahagia. Memantaskan
diriku sendiri untuk layak bersanding di sisimu. Mengurangi segala
tabiat buruk yang mampu menyakitimu. Aku berjerih payah untuk mengulas
senyum bangga di parasmu.
Di balik ketidaksempurnaanku, aku juga memiliki keyakinan yang dalam
untukmu. Aku yakin bahwa hatimu merupakan rumah yang paling pas dan
nyaman untukku. Ruangannya lapang, membuatku bebas melakukan segala
kegiatan. Banyak jendela yang membuatku mampu menghirup udara
sebanyak-banyaknya. Bahkan tak kutemui rantai cemburu yang siap membelit
kakiku. Ya, kau memang menghargaiku seperti kau menghargai dirimu
sendiri.
Kau memberikan kebebasan penuh padaku, supaya aku bisa
sebebas-bebasnya mengejar mimpi, bahkan kaulah alasanku untuk bisa
terlontar ke angkasa. Aku memang milikmu, namun kemudian tidak
lantas membuatmu membatasi kebebasanku dan mengatasnamakan
cinta. Karena itulah, tekadku sudah bulat, aku ingin menjadi penghuni
terakhir di ruang hatimu dan aku sedang mengusahakan untuk itu.
Aku berdoa, semoga nantinya akulah wanita terakhirmu — yang akan menyandang nama belakangmu dan menjadi ibu dari anak-anakmu.
Doa yang kulantunkan tiap petang juga jauh dari keistimewaan. Hanya
keinginan sederhana yang tertimbun di sana. Aku tidak ingin menjadi
wanita yang serba bisa dan sukses dalam segala hal. Aku tak pula meminta
harta berlimpah sehingga bisa membeli barang-barang mewah.
Ya, doa yang kupanjatkan tiap malam hanyalah supaya aku bisa
mengiringi langkahmu di masa depan. Semoga akulah yang mengamit lenganmu
dan menautkan jemari kecilku di rengkuhan hangatmu sebelum akhirnya
kita mengucap janji sehidup semati. Semoga aku lah yang menjadi penghuni
terakhir dari hatimu. Semoga selamanya aku akan tinggal di dalamnya
dililit dengan kehangatan dan diselimuti dengan dindingnya yang selembut
beledu.
Penulis : Pinka Wima
Tidak ada komentar:
Posting Komentar