orang hilang atau terbunuh di luar negeri sering menjadi misteri yang
tidak terpecahkan. Diantara mereka sempat menjadi pembicaraan publik
seantero jagat. Bagaimana dengan Indonesia? apakah memiliki kasus orang
hilang atau terbunuh yang tetap menjadi misteri yang tidak terpecahkan
sampai saat ini? Berikut kasus besar di Indonesia yang tetap menjadi misteri hingga hari ini.
1. Penembak Misterius Petrus 1982-1985
Petrus atau juga dikenal sebagai operasi
clurit dianggap oleh banyak orang sebagai sebuah operasi rahasia dimasa
pemerintahan Orde Baru untuk menghabisi para Gali (Gabungan anak liar)
dan Preman yang dianggap meresahkan dan mengganggu keamanan dan
ketentraman masyarakat kala itu. Hingga kini para pelaku Petrus tidak
pernah tertangkap dan tidak jelas siapa pelakunya. Kemungkinan besar
adanya operasi ini karena instruksi dari Presiden Soeharto di tahun 1982
saat memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Anton Soedjarwo
atas keberhasilannya membongkar kasus perampokan yang meresahkan
masyarakat, lalu ditahun yang sama Soeharto kembali meminta Polisi dan
ABRI dihadapan RAPIM ABRI untuk mengambil langkah pemberantasan yang
efektif dalam menekan angka kriminalitas.
Karena permintaan atau perintah Soeharto disampaikan pada acara
kenegaraan yang istimewa, sambutan yang dilaksanakan oleh petinggi
aparat keamanan pun sangat serius. Permintaan Soeharto itu sontak
disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo melalui rapat koordinasi
bersama Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta
yang berlangsung di Markas Kodam Metro Jaya 19 Januari 1983. Dalam rapat
yang membahas tentang keamanan di ibukota itu kemudian diputuskan untuk
melaksanakan operasi untuk menumpas kejahatan bersandi Operasi Celurit
di Jakarta dan sekitarnya. Operasi Celurit itu selanjutnya diikuti oleh
Polri/ABRI di masing-masing kota serta provinsi lainnya. Para korban
Operasi Celurit pun mulai berjatuhan.
Petrus pada awalnya beraksi secara rahasia namun lambat laun aksi mereka seperti sebuah teror menakutkan bagi para bromocorah dan preman di kota-kota besar, pada tahun 1983 berhasil menumbangkan 532 orang yang dituduh sebagai pelaku kriminal. Dari semua korban yang terbunuh, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 korban Petrus (Penembak Misterius) yang tewas sebanyak 107 orang, tapi hanya 15 orang yang tewas oleh tembakan. Sementara tahun 1985, tercatat 74 korban Petrus (Penembak Misterius) tewas dan 28 di antaranya tewas karena tembakan. Secara umum para korban Petrus saat ditemukan dalam kondisi tangan dan leher terikat.
Kebanyakan korban dimasukkan ke dalam karung dan ditinggal di tepi
jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, hutan-hutan, dan kebun. Yang
pasti pelaku Petrus terkesan tidak mau bersusah-susah membuang korbannya
karena bila mudah ditemukan efek shock therapy yang disampaikan akan
lebih efektif. Sedangkan pola pengambilan para korban kebanyakan diculik
oleh orang tak dikenal atau dijemput aparat keamanan. Akibat berita
yang demikian gencar mengenai Petrus yang berhasil membereskan ratusan
penjahat, para petinggi negara pun akhirnya berkomentar.
Ketika berita serupa hampir tiap hari muncul di seantero Jakarta dan
massa mulai membicarakan masalah penembakan misterius, Benny Moerdani
sebagai Panglima Kopkamtib seusai menghadap Presiden Soeharto lalu
memberi pernyataan kepada pers bahwa penembakan gelap yang terjadi
mungkin timbul akibat perkelahiaan antar geng bandit. “Seiauh ini belum
pernah ada perintah tembak di tempat bagi peniahat yang ditangkap”
komentar Benny. Dan tak ada seorang pun wartawan yang saat itu berani
melaniutkan pertanyaan kepada jenderal yang dikenal sangat tegas dan
garang itu.
Kepala Bakin saat itu, Yoga Soegama juga memberikan pernyataan yang bernada enteng bahwa masyarakat tak perlu mempersoalkan para penjahat yang mati secara misterius. Tapi pernyataan yang dilontarkan man-tan Wapres H. Adam Malik justru bertolak belakang sehingga membuat kasus penembakan misterius tetap merupakan peristiwa serius dan harus diperhatikan oleh pemerintah RI yang selalu menjunjung tinggi hukum. “Jangan mentangmentang penjahat dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi syarat sebagai negara hukum sudah terpenuhi,” kecam Adam Malik sambil menekankan, “Setiap usaha yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini pada kehancuran.”
Tindakan tegas para Penembak Misterius (Petrus) pada akhirnya memang
menyulut pro dan kontra. Pendapat yang pro, Petrus pantas diterapkan
kepada target yang memang jelas-jelas penjahat. Sebaliknya pendapat yang
kontra menyatakan keberatannya jika sasaran Petrus hanya penjahat kelas
teri atau mereka yang hanya memiliki tato tapi bukan penjahat beneran.
Pendapat atau komentar yang cukup kontroversial adalah yang dikemukakan
oleh Menteri Luar Negeri Belanda, Hans van den Broek, yang secara
kebetulan sedang berkunjung ke Jakarta pada awal Januari tahun 1984.
Setelah bertemu dengan Menlu Mochtar Kusumaatmadja, Broek secara
mengejutkan berharap bahwa pembunuhan yang telah mejnakan korban jiwa
sebanyak 3.000 orang itu pada waktu mendatang diakhiri dan Indonesia
juga diharapkan dapat melaksanakan konstitusi dengan tertib hukum. Menlu
Mochtar sendiri menjawab bahwa peristiwa pembunuhan misterius itu
terjadi akibat meningkatnya angka kejahatan yang mendekati tingkat
terorisme sehingga masyarakat merasa tidak aman dan main hakim sendiri.
Atas pernyataan Menlu Belanda itu, Benny yang merasa kebakaran jenggot sekali lagi harus tampil untuk meluruskan tuduhan tadi. Ia kembali menegaskan bahwa pembunuhan yang terjadi karena perkelahian antar geng. “Ada orang-orang yang mati dengan luka peluru, tetapi itu akibat melawan petugas. Yang berbuat itu bukan pemerintah. Pembunuhan itu bukan kebijaksanaan pemerintah,” tegasnya. Namun persoalan penembakan itu akhirnya tidak lagi misterius meskipun para pelakunya hingga saat ini tetap misterius dan tidak terungkap.
Beberapa tahun kemudian Presiden Soeharto justru memberikan uraian
tentang latar belakang permasalahannya dimana ia mengatakan Tindakan
keamanan tersebut memang terpaksa dilakukan sesudah aksi kejahatan yang
terjadi di kota-kota besar Indonesia semakin brutal dan makin meluas.
Seperti tertulis dalam bukunya Benny Moerdani hal 512-513 Pak Harto
berujar : “Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment therapy,
tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya harus dengan
kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor-dor!
Begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya mau tidak mau harus
ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak.
Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock
therapy, terapi goncangan. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap
perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan
itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampui
batas perikemanusiaan. Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang
menjijikkan itu”
Namun jika para petinggi militer maupun presiden sendiri menyatakan bahwa penembakan terhadap para preman karena melawan saat hendak ditangkap bagaimana Moerdani menjelaskan para korban Penembakan Misterius yang ditemukan dalam goni-goni dengan tangan terikat atau yang dihanyutkan di sungai? atas kordinasi siapakah para Penembak Misterius itu menjalankan perintah?
2. Kasus Menghilangnya Edy Tansil
Edy Tansil adalah seorang pengusaha
keturunan yang memiliki nama asli Tan Tjoe Hong/Tan Tju Fuan yang
menjadi narapidana dan harus mendekam selama 20 tahun di penjara
Cipinang atas kasus kredit macet Bank Bapindo yang merugikan negara
senilai 565 juta dollar (1.5 T rupiah dengan kurs dollar saat itu). Edy
Tansil dilaporkan kabur dari penjara pada tanggal 4 Mei 1996 dan 20
petugas LP Cipanang dijadikan tersangka karena dianggap membantu Edy
Tansil melarikan diri dan sejak itu keberadaan dari Edy Tansil seperti
raib ditelan bumi.
Sebuah LSM pengawas anti-korupsi bernama Gempita melaporkan bahwa Edy Tansil tengah menjalankan bisnis sebuah perusahaan bir yang mendapat lisensi dari perusahaan bir Jerman bernama Becks Beer Company di kota Pu Tian Provinsi Fujian China.
Di tahun 2007 Tempo interactive melaporkan bahwa tim pemburu koruptor (TPK) berdasarkan temuan dari PPATK menyatakan akan segera memburu Edy Tansil dimana PPATK menemukan bukti bahwa buronan tersebut telah melakukan transfer uang ke Indonesia setahun sebelumnya. Namun hingga kini keberadaan Edy Tansil tetap masih menjadi misteri.
Ada beberapa koruptor yang juga melarikan diri ke luar negri dan hingga kini keberadaan mereka tidak terungkap atau belum tertangkap seperti Adelin Lis, Sjamsul Nursalim, David Nusa Wijaya, Maria Pauline, Djoko S Tjandra, Marimutu Sinivasan, Hendra Rahardja, Sukanto Tanoto dan masih banyak lainnya.
Diera tahun 1980an ada seorang
peragawati ternama yang cantik bernama Dietje yang bernama lengkap
Dietje (Dice) Budimulyono/Dice Budiarsih, ia tewas dibunuh dengan
tembakan berulang kali oleh seorang yang ahli dalam menembak kemudian
mayat nya dibuang disebuah kebun karet dibilangan kalibata yang sekarang
menjadi komplek perumahan DPR. Setelah kasus tersebut marak di media
massa, Polisi akhirnya menangkap seorang tua renta yang nama aslinya
tidak diketahui dan hanya dikenal dengan panggilan Pakde dikenal juga
sebagai Muhammad Siradjudin, konon ia adalah seorang dukun. Yang entah
dengan alasan dan motif apa yang tidak jelas ia dianggap sebagai
pembunuh Dietje. Bagi Polis Motif tidak begitu penting karena Polisi
mengungkapkan bahwa "katanya" mereka "Memiliki bukti yang kuat".
Pak De membantah sebagai pembunuh Ditje seperti yang tercantum dalam BAP yang dibuat polisi. Pengakuan itu, menurut Pak De dibuat karena tak tahan disiksa polisi termasuk anaknya yang menderita patah rahang. Ketika itu, Pak De mengajukan alibi bahwa Senin malam ketika pembunuhan terjadi, dia berada di rumah bersama sejumlah rekannya. Saksi-saksi yang meringankan untuk memperkuat alibi saat itu juga hadir di pengadilan. Namun, saksi dan alibi yang meringankan itu tak dihiraukan majelis hakim.
Akhirnya Pakde dijatuhi hukuman penjara seumur hidup namun publik saat itu sudah mengetahui rumor bahwa Dietje menjalin hubungan asmara dengan menantu dari orang paling berkuasa di Indonesia saat itu. Dan tentu saja kasus seperti ini tidak akan pernah terungkap dengan benar. Karena pemilik informasi satu-satunya kepada media atau publik berasal dari polisi. Dan bisa jadi, publik digiring dengan sekuat tenaga, untuk ‘meyakini’ bahwa benarlah yang membunuh Dietje adalah Pakde.
Dietje disebutkan dipakai sebagai "Jasa" oleh seorang eks petinggi militer yang terjun ke dunia usaha dan untuk memuluskan bisnisnya Dietje dipakai oleh sang eks petinggi militer untuk menyenangkan menantu orang paling berkuasa di Indonesia, Hasil dari jasa Dietje, sang ‘jenderal’ pengusaha mendapat satu kontrak besar pembangunan sebuah bandar udara modern. Tapi hubungan Dietje berlanjut jauh dengan sang menantu. Ketika perselingkuhan itu ‘bocor’ ke keluarga besar, keluar perintah memberi pelajaran kepada Dietje, hanya saja ‘kebablasan’ menjadi suatu pembunuhan. Dietje ditembak di bagian kepala pada suatu malam tatkala mengemudi sendiri mobilnya di jalan keluar kompleks kediamannya di daerah Kalibata. Pak ‘De’ Siradjuddin yang dikenal sebagai guru spiritualnya dikambinghitamkan, ditangkap, dipaksa mengakui sebagai pelaku, diadili dijatuhi hukuman seumur hidup dan sempat dipenjara bertahun-tahun lamanya, Hingga akhirnya Pak De mendapat grasi dari Presiden BJ Habibi dimana hukuman Pak De dirubah dari seumur hidup menjadi 20 tahun di tahun 1999.
Akhirnya 27 Desember 2000 Pak De dapat meninggalkan hotel prodeo setelah
pemerintah memberikan kebebasan bersyarat. Setelah menghirup udara
bebas, Pak De lebih sering mengurusi ayam-ayamnya. Tubuhnya telah lama
layu. Kumis tebalnya juga sudah berwarna kelabu. Kepada setiap orang
kembali Pak De menyatakan: “Pak De tidak membunuh Ditje". Pak De dalam
kasus pembunuhan itu merasa menjadi kambing hitam oleh polisi dan Polda
Metro Jaya. "Sebenarnya saat itu polisi tahu pembunuhnya," kata Pak De.
Siapakah pelakunya? Pak De menyebut-nyebut sejumlah nama yang saat itu
dekat dengan kekuasaan. Entahlah, sebab di negeri ini keadilan tidak
berlaku bagi rakyat kecil
Pak De membantah sebagai pembunuh Ditje seperti yang tercantum dalam BAP yang dibuat polisi. Pengakuan itu, menurut Pak De dibuat karena tak tahan disiksa polisi termasuk anaknya yang menderita patah rahang. Ketika itu, Pak De mengajukan alibi bahwa Senin malam ketika pembunuhan terjadi, dia berada di rumah bersama sejumlah rekannya. Saksi-saksi yang meringankan untuk memperkuat alibi saat itu juga hadir di pengadilan. Namun, saksi dan alibi yang meringankan itu tak dihiraukan majelis hakim.
Akhirnya Pakde dijatuhi hukuman penjara seumur hidup namun publik saat itu sudah mengetahui rumor bahwa Dietje menjalin hubungan asmara dengan menantu dari orang paling berkuasa di Indonesia saat itu. Dan tentu saja kasus seperti ini tidak akan pernah terungkap dengan benar. Karena pemilik informasi satu-satunya kepada media atau publik berasal dari polisi. Dan bisa jadi, publik digiring dengan sekuat tenaga, untuk ‘meyakini’ bahwa benarlah yang membunuh Dietje adalah Pakde.
Dietje disebutkan dipakai sebagai "Jasa" oleh seorang eks petinggi militer yang terjun ke dunia usaha dan untuk memuluskan bisnisnya Dietje dipakai oleh sang eks petinggi militer untuk menyenangkan menantu orang paling berkuasa di Indonesia, Hasil dari jasa Dietje, sang ‘jenderal’ pengusaha mendapat satu kontrak besar pembangunan sebuah bandar udara modern. Tapi hubungan Dietje berlanjut jauh dengan sang menantu. Ketika perselingkuhan itu ‘bocor’ ke keluarga besar, keluar perintah memberi pelajaran kepada Dietje, hanya saja ‘kebablasan’ menjadi suatu pembunuhan. Dietje ditembak di bagian kepala pada suatu malam tatkala mengemudi sendiri mobilnya di jalan keluar kompleks kediamannya di daerah Kalibata. Pak ‘De’ Siradjuddin yang dikenal sebagai guru spiritualnya dikambinghitamkan, ditangkap, dipaksa mengakui sebagai pelaku, diadili dijatuhi hukuman seumur hidup dan sempat dipenjara bertahun-tahun lamanya, Hingga akhirnya Pak De mendapat grasi dari Presiden BJ Habibi dimana hukuman Pak De dirubah dari seumur hidup menjadi 20 tahun di tahun 1999.
4. Kasus Munir
Munir sebenarnya akan melanjutkan study S2 di
Univeritas Utrecht, Belanda dan dalam kronologi kasus pembunuhan
aktivis HAM tersebut disebutkan bahwa menjelang memasuki pintu pesawat,
Munir bertemu dengan Polycarpus seorang pilot pesawat Garuda yang sedang
tidak bertugas dan Polycarpus menawarkan kepada Munir untuk berganti
tempat duduk pesawat dimana Munir menempati kursi Polycarpus dikelas
bisnis dan Polycarpus menempati kursi Munir dikelas ekonomi.
Sebelum pesawat mengudara, flight attendant (Pramugari) Yetti Susmiarti dibantu Pramugara senior Oedi Irianto membagikan welcome drink kepada para penumpang dan Munir memilih Jus Jeruk. Pukul 22.05 WIB pesawat lepas landas dan 15 menit kemudian kembali Flight Attendant membagikan makanan dan minuman kepada para penumpang, Munir memilih mi goreng dan kembali memilih jus jeruk sebagai minumannya, setelah mengudara hampir 2 jam pesawat mendarat di bandara Changi Singapura. Di bandara Changi Munir menghabiskan waktu di sebuah gerai kopi sedangkan seluruh awak pesawat termasuk Polycarpus berangkat menuju hotel menggunakan bus dan perjalanan dari Singapura menuju Belanda seluruh awak pesawatnya berbeda dari perjalanan Jakarta menuju Singapura.
Dalam perjalanan Munir meminta kepada flight attendant Tia Ambarwati segelas teh hangat dan Tia pun menyajikan segelas teh hangat yang dituangkan dari teko ke gelas diatas troli dilengkapi gula sachet. Tiga jam setelah mengudara Munir bolak balik ke toilet, saat berpapasan dengan Pramugara bernama Bondan, Munir memintanya memanggil Tarmizi seorang dokter yang ia kenal saat hendak berangkat yang kebetulan juga menuju Belanda, Tarmizi melakukan pemeriksaan umum dengan membuka baju Munir. Dia lalu mendapati bahwa nadi di pergelangan tangan Munir sangat lemah. Tarmizi berpendapat Munir mengalami kekurangan cairan akibat muntaber. Munir kembali lagi ke toilet untuk muntah dan buang air besar dibantu pramugari dan pramugara. Setelah selesai, Munir ke luar sambil batuk-batuk berat.Tarmizi menyuruh pramugari untuk mengambilkan kotak obat yang dimiliki pesawat.
Kotak pun diterima Tarmizi dalam keadaan tersegel. Setelah dibuka,
Tarmizi berpendapat bahwa obat di kotak itu sangat minim, terutama untuk
kebutuhan Munir: infus, obat sakit perut mulas dan obat muntaber,
semuanya tidak ada. Tarmizi pun mengambil obat di tasnya. Dia memberi
Munir dua tablet obat diare New Diatabs; satu tablet obat mual dan perih
kembung, Zantacts dan satu tablet Promag. Tarmizi menyuruh pramugari
membuat teh manis dengan tambahan sedikit garam. Namun, setelah lima
menit meminum teh tersebut, Munir kembali ke toilet. Tarmizi
menyuntikkan obat anti mual dan muntah, Primperam, kepada Munir sebanyak
5 ml. Hal ini berhasil karena Munir kemudian tertidur selama tiga jam.
Setelah terbangun, Munir kembali ke toilet. Kali ini dia agak lama,
sekitar 10 menit, ternyata Munir telah terjatuh lemas di toilet.
Dua jam sebelum pesawat mendarat, terlihat keadaan Munir: mulutnya mengeluarkan air yang tidak berbusa dan kedua telapak tangannya membiru. Awak pesawat mengangkat tubuh Munir, memejamkan matanya dan menutupi tubuh Munir dengan selimut. Ya, Munir meninggal dunia di pesawat, di atas langit Negara Rumania. Setelah dilakukan penyelidikan termasuk oleh pihak otoritas Belanda ditemukan bahwa didalam tubuh Munir ditemukan kandungan racun Arsenik sebanyak 460mg didalam lambungnya dan 3.1mg/l dalam darahnya. Namun terdapat keanehan setelah dilakukan otopsi oleh pihak RS Dr Soetomo dimana kandungan arsenik yang ditemukan didalam lambung Munir sedikit ganjil karena seharusnya kandungan arsenik tersebut sudah hancur/melarut.
Ini terkesan mempertegas spekulasi jika kandungan arsenik dalam tubuh Munir baru dimasukkan ketika jenazahnya sudah di Indonesia. Spekulasi ini juga diperkuat dengan permintaan mereka untuk menahan lebih lama organ tubuh Munir. Spontan ini juga menimbulkan indikasi bahwa hal itu dilakukan agar organ tubuh Munir bisa dipersiapkan (dimark-up) agar benar-benar akan terkesan keracunan arsenik ketika diperiksa oleh pihak lain. Disebutkan juga ciri-ciri korban yang keracunan arsenik, antara lain: ada pembengkakan otak, paru paru yang mengalami kerusakan, mulut keluar darah karena indikasi kerusakan sistem pencernaan. Ketika arsenik masuk kedalam tubuh (dan racun mulai bekerja), biasanya korban mengalami muntaber berat disertai kejang-kejang.
Apapun itu penyebab kematian aktivis HAM tersebut namun hingga kini tampaknya kasus tersebut belum tuntas walaupun ada beberapa orang yang telah dijatuhi vonis oleh pengadilan namun Suciwati selaku istri Munir tetap merasa tidak puas dan meminta pemerintah menuntut secara tuntas kasus kematian suaminya. Apakah ini tindakan kontra intelijen ataupun sebuah operasi pembunuhan oleh intelijen? tidak ada yang mengetahui kejadian sebenarnya kecuali mungkin para pelaku utama pemberi perintah untuk membunuh sang aktivis. Namun yang pasti didalam sebuah kasus pembunuhan terencana harus ada motif dan tujuan dari melenyapkan seseorang, apakah pihak dinas intelijen RI begitu bodoh untuk membunuh seseorang yang secara aktif mengkritisi berbagai persoalan HAM di indonesia dan jika ia dihilangkan secara paksa pasti mata dan tuduhan internasional pasti akan mengarah kepada pemerintah Indonesia, dan pihak militer serta badan intelijennya, atau mungkin ada beberapa pihak yang telah gelap mata akibat sikap kritis dari Munir yang membuat mereka mengambil keputusan untuk menghabisinya, sebuah misteri yang belum terungkap hingga kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar